Manuver atau tepatnya akrobatik yag dilakukan Presiden Joko Widodo belakangan ini, menjadi sorotan publik nasional maupun internasional. Berbagai tudingan ditujukan sebagai dinasti politik, mahkamah keluarga bahkan PDIP merasa telah membesarkan seorang petugas partai hingga menjadi seorang presiden, justru merasa dikhianati, dan juga berefek dengan keluarnya Jusuf Kalla dari kubu Prabowo.
Serangan ke Jokowi semakin panas dengan dimulai dengan serangan relawan Pro Jokowi atau ProJo tiba-tiba mendukung Prabowo. Banyak pendukung Jokowi yag kecewa karena relawan-relawan ini mengaku tegak lurus dengan Jokowi, tapi mendukung Prabowo, bukannya Ganjar Pranowo. Karena tegak lurus, sudah pasti dukungan ke Prabowo juga diketahui oleh Jokowi.
Bagi Jokowi, ketika banyak organ relawan yang mendekat ke Prabowo agar barisan pendukung maupun orang dalam di tim pemenangan Prabowo dipenuhi oleh orang-orang nasionalis, bukan radikal agamais seperti sebelumnya. Jokowi ingin mengunci Prabowo agar tidak keluar jalur seperti yang terjadi pada Pilpres 2019.
Prabowo itu sejatinya seorang patriot nasionalis, tapi dia salah jalan ketika berkompromi dengan kelompok radikal untuk memenangkan Pilpres 2019 lalu. Jika pergerakan Prabowo sudah dikunci oleh kelompok nasionalis yang masuk ke dalam tim pemenangannya, maka situasi Pemilu 2024 tidak seganas yang terjadi pada tahun 2019. Strategi yang sama juga dipakai oleh Megawati dengan mengirimkan Budiman Sudjatmiko ke dalam pusaran politik Prabowo dapat menjadi sandaran Prabowo dalam menentukan arah keputusan politiknya.
Sederhana sekali, ditunjuknya Gibran sebagai cawapresnya Prabowo untuk mengeliminasi kelompok seperti FPI, HTI JAT, Taliban. Kelompok-kelompok ini sudah pasti merapat dengan Anies Baswedan.
Merekam realitas diatas, justru Jokowi memasang Cak Imin sebagai Cawapresnya Anies untuk hambat laju Anies Baswedan yang didukung oleh PKS. PKS adalah antitesa dari NU. Apalagi NU yang merupakan Ulama Nusantara lagi berseteru dengan para Habib yang merupakan keturunan Imigran Yaman. Bukan rahasia lagi, dan kita semua sudah tahu bahwa para habib ini sedang berseteru dengan Ulama Nusantara.
Di sisi lainnya dengan masuknya Gibran, maka yang lolos ke putaran kedua adalah Ganjar-Mahfud Vs Prabowo-Gibran. Seandainya Jokowi tidak mendukung Prabowo tapi mendukung Ganjar maka sifat asli Prabowo dan kadernya yang didukung oleh kaum intoleran akan membuat narasi-narasi kebencian, hoax, berita-berita bohong, agitasi, intimidasi, surga dan neraka, jihad, takbir- takbiran. Semua itu akan menimbulkan ketakutan dimasyarakat dan kerusuhan-kerusuhan sipil.
Bergabungnya Gibran dan dukungan Jokowi ke Prabowo itu dimata masyarakat adalah suatu pengkhianatan. Tetapi dengan Ganjar-Mahfud akan mempertontonkan pendidikan politik yang lebih mendidik dan memberi semangat yang membuat masyarakat terutama kaum milenial dan NU memilih duet maut Ganjar-Mahfud.
Setelah Ganja-Mahfud yang menang maka ada yang meredam keruwetan yaitu Jokowi. Inilah yang namanya memukul tanpa merasa dipukul. Ini adalah jurus manuver politik kuno orang Jawa. Blankonnya juga kita tidak tahu mana yang didepan dan mana yang dibelakang.
Ganjar-Mahfud yang didukung oleh para Kiyai Nusantara akan mulus dilantik. Makanya Jokowi dalam pidato di Rakernas PDIP ,”Pak Ganjar, setelah dilantik nanti, besoknya langsung urusan pangan”.
Alhasil, semuanya berujung pada happy ending dimana Gerindra, Golkar, Demokrat akan berkoalisi lagi dengan PDIP. Terlalu banyak opini liar di kalangan masyarakat. Jelas tidak mungkin Jokowi berkhianat. Dia tegak lurus terhadap NKRI, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 45. (fir)
Seduh kopi dulu ☕