Di kalangan anak-anak muda terdapat upaya untuk melestarikan keroncong. Salah satunya adalah munculnya lagu Kroncong Protol yang dibawakan oleh Bondan Prakoso dan Fade2Black yang memadukan unsur keroncong dengan musik hip-hop.
Komunitas musik pop menganggap hal tersebut sebagai terobosan yang cerdas karena mencoba mengangkat pamor musik keroncong kembali ke permukaan. Upaya Bondan menghadirkan keroncong dalam industri sebenarnya juga merupakan upaya untuk mempertahankan keroncong. Namun demikian langkah mereka terhenti karena sebagian kalangan menganggap apa yang dilakukan Bondan dan kawan-kawannya menghina pakem keroncong yang sakral. Upaya Bondan dianggap merusak tradisi keroncong, dan musiknya dinilai bukan sebagai musik keroncong hanya karena masuknya instrumen musik yang sebelumnya tidak biasa ada, atau aransemen musiknya dianggap bukan aransemen keroncong.
Di kalangan industri musik, perusahaan rekaman merupakan suatu badan usaha yang mengedepankan keuntungan. Oleh karena itu mereka tentu akan menyeleksi rekaman dengan daya jual yang tinggi. Dengan demikian jenis musik keroncong dengan sendirinya telah tersisih sejak awal karena memang pangsa pasarnya kecil. Sebagian besar peminat keroncong adalah orang-orang setengah baya ke atas atau dengan kata lain dari sisi komersial jenis musik keroncong dinilai kurang menguntungkan. Perusahaan rekaman hanya akan merekam musik keroncong apabila penyanyinya sudah mempunyai nama sehingga ada jaminan bahwa modal yang tertanam akan kembali. Sebagai contoh adalah penyanyi Hetty Koes Endang, seorang penyanyi serba bisa yang namanya mencuat berkat BRTV. Pada rekaman keroncong Hetty tidak saja menyanyikan lagu-lagu keroncong asli tetapi juga lagu-lagu pop.
Perkembangan musik keroncong di Indonesia dapat diperiodisasikan sebagai berikut: masa sebelum kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan saat ini. Pada masa sebelum kemerdekaan perkembangannya dimulai dari munculnya kelompok musik Kampung Tugu di Batavia.
Pada tahun 1920-an banyak bermunculan kelompok musik keroncong di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogjakarta, dan Solo. Setelah kemerdekaan, terutama sejak tahun 1970-an banyak dikembangkan musik keroncong beraliran pop. Keroncong berkembang melalui ajang BRTV dan Aneka Ria Safari.
Sampai saat ini sebenarnya musik keroncong masih tetap bertahan meskipun ruang eksistensinya semakin menyempit. Di beberapa kota seperti Semarang, Solo, dan Yogyakarta masih terdapat kelompok-kelompok keroncong yang berkembang di kampung-kampung, meski hanya sebatas sebagai pengisi waktu.
Tidak ada atau jarang kelompok musik keroncong yang berorientasi untuk meramaikan khasanah dunia musik. Mereka juga tidak lagi berorientasi untuk mendapatkan penghasilan dari musik keroncong karena bermusik hanya untuk bersenang-senang mengisi waktu luang. Beberapa faktor yang turut memengaruhi mundurnya perkembangan musik keroncong antara lain minimnya peran media, kecenderungan perkembangan industri musik, dan hambantan dalam pengembangan kreativitas.
Barangkali yang cukup relevan adalah mendudukkan keroncong tidak lagi sebagai seni hiburan untuk tujuan ekonomi, melainkan sebagai salah satu pusaka bangsa yang harus dilindungi dan dilestarikan keberadaannya. Oleh karena itu keroncong tidak hanya menjadi tanggung jawab seniman tetapi juga tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. (fir)