Seni rupa menjadi medium ekspresi orang Papua atas identitas kepapuaan maupun keresahan terhadap berbagai peristiwa kekerasan. Sekelompok orang muda Papua menggunakan medium itu untuk menyuarakan masyarakat, yang menurut antropolog, “terbiasa dibungkam dan hidup dalam diam”.
Bisakah muda-mudi yang berkesenian dalam kelompok Udeido Collective itu memantik kesadaran khalayak atas situasi sosial-politik Papua?
Mungkinkah mereka memicu gerakan kebudayaan yang sempat muncul sekitar setengah abad silam di Bumi Cenderawasih?
Sebuah kisah mengenai peristiwa yang terjadi tahun 1981 terus-menerus diestafetkan di kalangan perupa dan orang-orang yang menggeluti seni visual. Kejadian itu berlangsung di Bandung, Jawa Barat, tapi berkaitan erat dengan Irian Jaya—istilah yang dilekatkan Orde Baru untuk Papua—dan juga masyarakatnya.
Seorang mahasiswa Departemen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, yang di kemudian hari menjadi salah satu perupa legendaris, Semsar Siahaan, pada tahun 1981 membakar patung ciptaan dosen senior di kampusnya, Sunaryo. Patung berbahan kayu yang telah dipamerkan di New Delhi, India dan Fukuoka, Jepang itu lenyap menjadi abu.
Patung ciptaan Sunaryo yang dibakar itu bertajuk ‘Citra Irian dalam Torso’. Namun, Semsar bertanya-tanya, jika patung itu merupakan hasil ‘renungan’ Sunaryo terhadap orang Papua, seberapa besar karya itu berbicara tentang persoalan mereka.
Cerita tentang bagaimana Semsar menggugat patung yang diciptakan Sunaryo tadi dituturkan ulang oleh perupa Agung Kurniawan pada seremoni pembukaan pameran seni rupa bertajuk Mairi, di Yogyakarta pada 2019.
Dalam eksibisi itu, kelompok Udeido Collective, yang terdiri dari sejumlah pekerja seni asal Papua, untuk pertama kalinya memamerkan karya mereka secara kolektif.
Bertolak belakang dengan gugatan Semsar bahwa patung Sunaryo lebih mengutamakan eksotisme ketimbang realitas sosial-politik Papua, Agung merasa karya-karya Udeido Collective justru membuka mata publik pada persoalan yang terjadi di wilayah itu.
“Ketika saya berkunjung ke studio para seniman Papua ini, seorang pelukis sedang menyelesaikan sebuah gambar,” ujar Agung.
“Di meja kerja berserak foto-foto pertambangan Freeport McMoran, orang-orang yang mengais sisa emas di sungai, dan jurang menganga bagai borok,” ucapnya.
Pesan yang ditangkap oleh Agung Kurniawan tadi memang ekspresi yang ingin disampaikan Udeido melalui berbagai karya, kata Dicky Takndare, salah seorang penggagas kelompok seni ini.
Dicky berkata, mereka memang secara sadar memakai seni rupa untuk menceritakan beragam peristiwa buruk yang dihadapi orang asli Papua.
“Di Papua ada banyak bentuk kegelisahan anak muda Papua atas kondisi saat ini. Ada kelompok sastra, diskusi buku, komunitas musik rap dan hip hop.
“Seni rupa salah satu alternatif untuk menyampaikan ekspresi. Kami sangat subjektif sekali karena kami lahir dari masyarakat yang dimarjinalkan dengan sejarah rasialisme yang panjang,” kata Dicky.
Papua diwarnai berbagai peristiwa kekerasan, termasuk yang menyasar warga sipil, sejak masuk menjadi bagian Indonesia pada 1969.
Komnas HAM, misalnya, menerima 72 aduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia pada tahun 2021 saja. Namun pemerintah pusat selalu membantah terjadinya kekerasan terstruktur oleh aparat.
Sejauh ini baru satu kasus pelanggaran HAM berat Papua yang dibawa ke pengadilan—seorang perwira yang identitasnya masih disembunyikan pengadilan dituduh bertanggung jawab atas peristiwa Paniai Berdarah pada Desember 2014.
Sejak pameran perdana mereka di Galeri Sangkring Art tahun 2019, karya visual kelompok Udeido Collective telah dipamerkan di ajang Biennale Jogja 2021 dan Museum Macan Jakarta pada 2022.
Biennale Jogja merupakan salah satu perhelatan seni kontemporer terbesar di Indonesia yang bergulir sejak akhir dekade 1980-an. Saat terlibat dalam ajang ini, para perupa dan pematung di Udeido menyuguhkan sejumlah karya, salah satunya bertajuk Koreri Projection.
Melalui karya ini, Udeido berusaha memvisualisasikan perjalanan orang Papua menuju Koreri. Dalam mitologi orang-orang asli Biak Numfor, Koreri adalah alam penuh kedamaian pasca-kehidupan material di Bumi.
Orang-orang Papua yang hidup penuh ironi akibat kekerasan, pembungkaman dan perampasan hak, begitu kata Udeido dalam pengantar pameran mereka, akan hidup dalam damai dalam Koreri.
Koreri, menurut misionaris Zending asal Belanda, Freerk Christiaan Kamma, dalam disertasinya tahun 1954, adalah gerakan mesianik yang bertumbuh pada masyarakat Biak Numfor, sebelum kekristenan hadir dibawa para penginjil Belanda.
Melalui Koreri Projection, Udeido menampilkan foto sejumlah sosok vital Papua, antara lain Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, yang dibunuh anggota TNI pada 2001 dan budayawan Arnold Clement Ap yang tewas tahun 1984.
Udeido juga memasang foto sosok di balik gerakan awal pro-kemerdekaan Papua, Seth Jafet Rumkorem, serta musikus dari grup musik legendaris asal Papua, Black Brothers, yaitu Stevie Mambor.
Karya lain perupa Udeido dalam Biennale Jogja adalah mural berukuran raksasa yang dipajang pada fasad bangunan Taman Budaya Yogyakarta. Mural yang dibuat oleh Yanto Gombo itu memperlihatkan wajah besar seorang laki-laki dari Suku Dani dengan hiasan taring babi di hidung. Dia terlihat tengah berteriak.
Di sekeliling wajah laki-laki Dani itu, Yanto meletakkan ilustrasi sejumlah peristiwa tidak menyenangkan yang dialami orang Papua, satu di antaranya adalah kejadian tahun 2016 saat polisi menarik hidung mahasiswa asal Papua, Obby Kogoya, dalam demonstrasi di Yogyakarta. (fir)
foto: Yayasan Biennale Yogyakarta