Masa depan PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri menghadapi tantangan berat, terutama setelah Pemilu 2024. Analisis dari beberapa pengamat menunjukkan bahwa PDIP kemungkinan besar akan mengambil posisi sebagai oposisi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran.
Sejarah juga menunjukkan bahwa pengaruh Megawati sebagai “vote-getter” utama PDIP telah melemah sejak lama. Setelah kegagalan politik di awal 2000-an, PDIP mulai mengandalkan “Jokowi-Effect” untuk mendongkrak elektabilitas.
Namun, dengan perpisahan Megawati dan Jokowi secara politik, efek tersebut tidak lagi memberikan dampak signifikan. Hal ini terlihat dari menurunnya kinerja elektoral PDIP pada Pemilu Pilpres 2024, baik secara nasional maupun di basis pemilih tradisional mereka.
Ke depan, PDIP menghadapi dilema strategis: apakah akan terus bergantung pada sosok seperti Ganjar Pranowo, yang terbukti belum mampu menggantikan efek elektoral Jokowi, atau mencari terobosan baru dalam membangun koalisi politik yang lebih inklusif dan adaptif. Tantangan internal berupa regenerasi kepemimpinan dan konsolidasi kader juga menjadi isu krusial bagi partai ini.
Langkah Megawati untuk mengarahkan PDIP menjadi oposisi mungkin bisa menjadi strategi untuk membangun citra baru yang lebih independen, meskipun keberhasilan strategi ini sangat tergantung pada kemampuan partai dalam menawarkan narasi politik yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kaitannya dengan Pilkada 27 November 2024, posisi PDIP sebagai partai politik yang dominan di beberapa wilayah strategis akan diuji. Beberapa faktor yang relevan terkait Pilkada ini adalah:
1. Basis Tradisional PDIP
PDIP dikenal memiliki kekuatan signifikan di wilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang sering disebut sebagai “kandang banteng.” Namun, jika terdapat erosi dukungan akibat perpecahan internal atau lemahnya kandidat, dominasi ini bisa terancam.
Pilkada akan menjadi ujian untuk melihat apakah partai masih mampu mempertahankan pengaruh di basis tradisionalnya atau justru kehilangan momentum.
2. Kandidat yang Diusung
Pilkada seringkali sangat bergantung pada popularitas dan kompetensi kandidat di tingkat daerah. Jika PDIP gagal mengusung tokoh yang memiliki daya tarik lokal, lawan politik dapat dengan mudah mengambil alih.
Selain itu, penunjukan kandidat oleh “petugas partai,” yang menjadi karakteristik gaya kepemimpinan Megawati, mungkin kurang relevan dengan kebutuhan politik lokal saat ini.
3. Efek Politik Nasional
Ketegangan antara PDIP dan Presiden Jokowi pasca Pemilu Pilpres 2024 dapat berdampak pada strategi Pilkada.
Dukungan Jokowi kepada kandidat non-PDIP, misalnya dari koalisi pendukung Prabowo-Gibran, bisa melemahkan peluang PDIP di wilayah tertentu. Selain itu, narasi PDIP sebagai oposisi mungkin sulit diterima di daerah yang mendukung pemerintah pusat.
4. Regenerasi dan Strategi Kampanye
Tantangan regenerasi dalam PDIP menjadi sorotan penting. Kepemimpinan Megawati yang dianggap kurang adaptif terhadap perubahan zaman bisa memengaruhi kemampuan PDIP untuk menarik pemilih muda.
Dalam konteks Pilkada, jika PDIP tidak mampu menawarkan program dan narasi yang sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal, partai lain berpotensi memenangkan lebih banyak wilayah.
Pilkada 27 November 2024 akan menjadi barometer kekuatan PDIP di tingkat daerah setelah dinamika politik nasional yang penuh gejolak.
Jika PDIP gagal menyesuaikan strategi kampanye, merangkul kandidat kompeten, dan memperbaiki citra pasca-Pemilu Pilres 2024, peluangnya untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan di tingkat daerah bisa menurun drastis.
Di sisi lain, ini juga menjadi peluang bagi partai untuk membangun ulang kekuatannya dengan strategi oposisi yang solid. (fir)