Belanja subsidi BBM pemerintah Indonesia selalu menjadi topik kontroversi. Pemerintah Tambah USD $20 Miliar pada Anggaran 2022. Dengan menjaga harga BBM dan listrik tetap rendah, pemerintah pusat bertujuan untuk mendukung masyarakat Indonesia serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) karena – memang – kemiskinan masih menjadi masalah besar di Indonesia; sebuah negara di mana hampir sepuluh persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan nasional (sekitar 26,5 juta orang).
Selain itu, ambang batas kemiskinan yang ditetapkan oleh Indonesia biasanya rendah (sedikit di atas USD $1,00 per hari), yang jauh lebih rendah dari ambang batas yang digunakan oleh Bank Dunia (USD $1,90 per hari). Dengan kata lain, jika kita menggunakan ambang batas Bank Dunia di Indonesia, maka kita akan melihat peningkatan yang signifikan dalam tingkat kemiskinan negara. Jadi, kemiskinan sebenarnya adalah masalah yang lebih besar di Indonesia daripada yang ditunjukkan oleh data resmi pemerintah. Dengan mengingat hal itu, bahkan tekanan inflasi yang ringan pun dapat mendorong jutaan orang Indonesia ke dalam kemiskinan yang parah. Karena itu, bantuan negara dalam bentuk energi murah (di tengah kenaikan inflasi) memang membantu menjaga daya beli masyarakat.
Di sisi lain, berbagai organisasi internasional telah berulang kali menyatakan kritik terhadap kebijakan subsidi energi Indonesia selama beberapa dekade terakhir, karena beberapa alasan:
- Subsidi energi BBM menciptakan distorsi pasar karena mereka menjaga harga bahan bakar fosil rendah secara artifisial (karenanya harga semua barang dan jasa di masyarakat tetap rendah secara artifisial). Ini juga mendorong konsumsi berlebihan serta polusi. Dan, dalam kasus Indonesia di mana pembangunan infrastruktur umumnya tidak memadai, hal itu juga menyebabkan kemacetan lalu lintas (yang juga memicu biaya ekonomi).
- Banyak yang meragukan bahwa subsidi BBM efektif dalam mengurangi ketimpangan dan kemiskinan karena sebagian besar manfaatnya diperoleh oleh rumah tangga kaya yang sudah memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. Beberapa tahun yang lalu, Bank Dunia menyimpulkan bahwa desil terkaya rumah tangga Indonesia mengkonsumsi sekitar 40 persen bensin bersubsidi, sedangkan desil termiskin mengkonsumsi kurang dari satu persen. Oleh karena itu Bank Dunia merasa bahwa transfer manfaat langsung jauh lebih efektif. Namun perlu kami tambahkan di sini bahwa bahan bakar murah juga memungkinkan berbagai produk dan layanan (makanan) menjadi lebih murah karena biaya transportasi lebih rendah. Jadi, secara tidak langsung, kami melihat beberapa keuntungan signifikan bagi rumah tangga miskin yang diperoleh dari harga energi yang rendah.
- Pengeluaran untuk subsidi BBM (untuk tujuan konsumtif) menyiratkan bahwa ada peluang yang terlewatkan dalam hal pembiayaan publik untuk tujuan produktif (seperti perlindungan sosial, perawatan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur).
- Pada suatu saat subsidi energi untuk bahan bakar fosil harus dihapuskan karena ketersediaan bahan bakar fosil terbatas, yang berarti semakin mahal harganya. Semakin lama pemerintah menunggu sebelum mengurangi subsidi, semakin besar kerugiannya setelah subsidi dihapus. Namun, poin ini sebenarnya tidak berlaku lagi karena telah ada kemajuan besar dengan sumber energi terbarukan. Oleh karena itu, jauh sebelum bahan bakar fosil habis, akan ada peralihan ke energi terbarukan. Namun, untuk mempermudah peralihan ini, mungkin akan lebih baik jika pemerintah fokus pada mensubsidi sumber energi terbarukan.
Subsidi BBM ini juga menjadi alat politik. Kita sering melihat bahwa pemerintah Indonesia menjadi lebih murah hati dalam hal subsidi BBM menjelang pemilihan umum. Sementara itu, pemotongan subsidi BBM pasti akan disambut dengan protes di jalan-jalan (didorong oleh lawan politik dari partai-partai yang berkuasa).
Sedangkan poin-poin di atas menyangkut pemotongan harga bagi pengguna akhir. Namun ada juga subsidi produksi dalam bentuk insentif fiskal atau skema pemulihan pengeluaran.
(FIR)