Provinsi Jambi yang terletak di bagian tengah Pulau Sumatra, adalah tempat tinggal bagi hutan dan lahan gambut yang dapat mengatur aliran air, menyimpan karbon, mendukung keanekaragaman hayati, dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat adat seperti Talang Mamak, Orang Rimba, dan Melayu. Sayangnya, lanskap ini mulai terdegradasi dengan cepat.
Pada tahun 2006, luas hutan alam di Jambi mencapai sekitar 40 persen. Akan tetapi, angka ini turun menjadi 22 persen pada tahun 2017 (berdasarkan analisis KLHK terhadap citra satelit Jambi di tahun 2017). Emisi yang dihasilkan dari sektor pertanian, hutan, dan tata tuna lahan (AFOLU) berkontribusi sebesar lebih dari 85 persen dari total emisi provinsi Jambi.
Hari Hutan Internasional membawa ingatan kepada salah satu kunjungan personal kami ke Provinsi Jambi pada tahun lalu, yang dimulai dari kota Jambi, yang terletak di bagian timur, hingga ke Kabupaten Kerinci di ujung barat. Pada saat itu, kilometer demi kilometer sejauh mata memandang terlihat perkebunan kelapa sawit yang luas, berdampingan dengan tambang batu bara dan desa-desa yang ramai.
Dampak dari transformasi hutan ini juga dirasakan oleh masyarakat setempat. Banyak yang menceritakan pengalaman Orang Rimba yang kini kegiatannya terbatas di hutan lindung (seperti Taman Nasional Bukit Dua Belas) atau bahkan terhimpit oleh bentangan perkebunan kelapa sawit dan tidak dapat lagi mempraktikkan cara hidup adatnya. Konflik antara manusia dan satwa liar bertambah, seperti dengan spesies gajah dan harimau. Hal ini mengakibatkan penurunan populasi spesies, hingga bahkan terancam punah. Pada saat yang sama, masyarakat setempat sudah menyadari manfaat yang dapat diperoleh dari melindungi hutan – khususnya peran hutan dalam menjaga keseimbangan air, mencegah erosi, dan melindungi dari bencana alam.
Indonesia telah mengambil langkah tegas untuk mencegah deforestasi dan mendorong pertumbuhan hijau di Jambi
Indonesia telah menjalankan komitmen besar mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan menurunkan laju deforestasi selama empat tahun berturut-turut,dari tahun 2017 hingga 2020 . Menurut Pemerintah, keberhasilan ini dicapai berkat dijalankannya upaya reformasi seperti meningkatkan pemantauan dan mencegah penebangan hutan, moratorium izin perkebunan kelapa sawit, konversi lahan gambut dan hutan primer, memberikan kejelasan terkait kepemilikan lahan, restorasi ekosistem kritis seperti lahan gambut dan mangrove, serta mendorong penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat setempat.
Pemerintah Provinsi Jambi dan beberapa lembaga swadaya masyarakat telah bekerja keras untuk melindungi hutan yang tersisa. Jambi telah menetapkan Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Rencana ini menjelaskan visi pembangunan rendah karbon yang berorientasi kepada peningkatan produktivitas lahan serta perlindungan hutan dan lahan gambut. Rencana pembangunan jangka menengah daerah tahun 2021 berupaya untuk mengarusutamakan ‘pertumbuhan hijau’ ke dalam berbagai kegiatan pembangunan di tingkat provinsi. Rencana ini menjadi landasan dalam mengembangkan berbagai kebijakan dan program untuk mencapai ambisi pertumbuhan hijau Jambi dan mendukung tren pengurangan deforestasi maupun emisi GRK.
Kisah pengelolaan lanskap terpadu oleh masyarakat setempat
Contoh visi “pembangunan hijau” dan pengelolaan lanskap terpadu di lapangan dapat ditemukan di Kabupaten Merangin. Saat ini sedang berlangsung pembangunan geo-park baru seluas 400.000 hektare. Geo-park tersebut adalah kawasan terpadu yang mendorong perlindungan dan pemanfaatan warisan geologi secara berkelanjutan untuk melindungi dan mempromosikan fosil fauna dan flora, sekaligus mempromosikan pariwisata berbasis alam di daerah pegunungan. Pemerintah kabupaten telah menyiapkan rencana induk untuk kawasan tersebut, membentuk badan pengelola, dan berupaya untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO, serta memasarkan destinasi wisata tersebut kepada wisatawan domestik dan internasional.
Kabupaten Merangin juga mendorong diakuinya keberadaan masyarakat hukum adat secara resmi, sebagai langkah sebelum mendapatkan hak pengelolaan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Setelah mendapatkan hak atas tanah, masyarakat dapat memperoleh pendapatan dari hutan dengan memanen hasil hutan bukan kayu, seperti madu dan kayu manis, serta dari ekowisata dan penyediaan jasa ekosistem.
Ketika kami berkunjung ke hutan adat seluas 800 hektar, kami melihat secara langsung kepemimpinan dari para pemimpin adat dan pemuda setempat dalam menjaga dan melestarikan hutan. Mereka bahkan berencana untuk membangun “sekolah rimba” sebagai pusat pendidikan tentang lingkungan hidup bagi pemuda setempat.
Bappeda Kabupaten Merangin memberikan dana sebesar Rp 15 juta kepada masing-masing dari 22 desa untuk meningkatkan motivasi warga dalam mengelola hutan dan meningkatkan kapasitas kelembagaan lokal. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat kabupaten juga mendukung pemasaran produk masyarakat setempat, mendorong rehabilitasi kawasan kritis yang terdegradasi yang berbasis masyarakat, seperti pembibitan di desa dengan spesies asli dan buah-buahan, dan meningkatkan pengelolaan hutan lindung, seperti melalui upaya pemadaman kebakaran dan patroli hutan.
Bank Dunia mendukung pemerintah Indonesia dan Jambi untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau melalui berbagai kegiatan. Hibah dari BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF-ISFL) mendukung pemerintah daerah dan masyarakat di sekitar kawasan hutan kritis untuk meningkatkan produktivitas pertanian, menciptakan sumber pendapatan alternatif seperti pariwisata, dan meningkatkan akses ke pasar untuk menghindari perambahan lebih lanjut dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Upaya untuk menciptakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sempat sekaligus menegakkan peraturan rencana tata ruang wilayah sangat penting dalam melestarikan hutan yang tersisa.
Dengan keberhasilan yang dicapai dalam konteks tata kelola lahan hingga pembayaran karbon, Jambi memiliki potensi untuk menjadi contoh pengelolaan lanskap terpadu yang sukses dilakukan secara nyata . Dalam jangka panjang, Indonesia dapat mereplikasi prakarsa yang dijalankan di Jambi dan menggunakannya sebagai model tata guna lahan berkelanjutan di seluruh Indonesia.
Foto: Fauzan Ijazah/WorldBank