GaungMedia.com – Tahukah Anda, lagu kebangsaan Singapura, “Majulah Singapura”, ternyata diciptakan oleh seorang putra Indonesia? Namanya Zubir Said — sosok legendaris yang dihormati dan menerima banyak penghargaan, namun kisah hidupnya jarang terungkap.
Awal Kehidupan di Bukittinggi
Lahir di Bukittinggi, Sumatra, Zubir kecil sudah jatuh hati pada musik. Sayangnya, sang ayah menganggap musik itu haram dan menentangnya keras. Ketika mengetahui putranya diam-diam belajar musik, ayahnya memecahkan gitar kesayangan Zubir.
Pada usia 21 tahun, Zubir mengalami keracunan makanan parah hingga nyaris meninggal. Sang ayah bahkan membelikan kain kafan sebagai persiapan pemakaman. Namun, Zubir pulih secara ajaib — dan memutuskan saat itu juga untuk meninggalkan kampung halamannya.
Merantau Bermodal Kain Kafan
Seorang teman bercerita tentang negeri penuh peluang bernama Singapura, “pulau dengan cahaya gemerlap dan kopi susu dengan mentega.” Terpikat cerita itu, Zubir berangkat dengan hanya pakaian di badan dan kain kafan. Ia berjalan kaki ke Pekanbaru, lalu menumpang kapal menuju Singapura.
Meniti Karier Musik di Negeri Rantau
Di Singapura, Zubir belajar sendiri bermain piano dan membaca notasi musik Barat. Ia bekerja di City Opera dan label rekaman His Master’s Voice, menggubah banyak lagu untuk film-film Melayu populer produksi Shaw Brothers dan Cathay-Keris.
Puncak kariernya datang pada 1958, ketika Dewan Kota Singapura memintanya menciptakan lagu “Majulah Singapura” untuk peresmian kembali Teater Victoria. Momen ini menjadi istimewa karena sang ayah — yang kala itu berusia 101 tahun — datang langsung dari Bukittinggi untuk menyaksikan penampilan perdana lagu tersebut. Pertemuan itu menjadi titik rekonsiliasi ayah dan anak.
Dari Panggung Teater ke Lagu Kebangsaan
Setelah Singapura keluar dari Malaysia pada 9 Agustus 1965, “Majulah Singapura” diresmikan sebagai lagu kebangsaan. Bahkan pada 1984, sempat muncul usulan untuk menggantinya dengan “Stand Up for Singapore”, namun usulan itu gagal.
Filosofi “Menegakkan Langit”
Bertahun-tahun kemudian, Zubir ditanya mengapa ia — seorang perantau Minang — bersedia menciptakan lagu kebangsaan untuk negara lain. Jawabannya sederhana namun penuh makna: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Peribahasa ini bukan sekadar ajakan menghormati adat setempat, tetapi mengandung pesan lebih dalam: di manapun kita berada, kita memiliki kewajiban untuk menjaga, menghormati, dan memberi kontribusi bagi tempat itu.
Bagi Zubir, hidup di Singapura berarti kewajibannya adalah “menegakkan langit” di sana. Ia berharap karyanya mampu menginspirasi warga Singapura melakukan hal yang sama.
Kini, saat Singapura merayakan 60 tahun kemerdekaannya, kisah Zubir Said menjadi pengingat bahwa semangat persahabatan, penghormatan, dan kontribusi lintas batas adalah warisan yang tak lekang waktu. (fir)