Saya belum tahu, sejauh mana Bandung telah merealisasikan impian sang ibu bangsa, semisal untuk mendirikan rumah sakit ibu-anak dan sebagainya? Ataukah Bandung, sebagaimana diri saya, hanya mengenal Ibu Inggit serba sedikit?
Pengetahuan saya tentang Ibu Inggit Garnasih sangat terbatas. Apa yang saya ketahui hanya berkisar di sekitar apa yang terungkap dalam roman Kuantar ke Gerbang karya mendiang Ramadhan K.H.
Dengan Kang Atun – begitu biasanya saya memanggil pangersa Pak Ramadhan K.H. – kebetulan saya merasa kenal baik. Di penghujung tahun 1990-an atau awal tahun 2000-an, terutama di sekitar momentum ulang tahun beliau yang ke-75, saya mendapat kesempatan untuk menemui beliau, berbincang-bincang dengannya seputar seni penulisan biografi, dan menemaninya berkunjung ke beberapa tempat di Bandung. Pada tahun 2002, hingga batas tertentu, saya ikut terlibat dalam penerbitan ulang Kuantar ke Gerbang oleh penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung, serta promosinya dalam sebuah diskusi di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta, 16 Juni 2002.
Sekali pernah, di sela-sela acara Konferensi Internasional Budaya Sunda pada tahun 2001 di Bandung, Kang Atun seperti “menguji” saya dengan sebuah pertanyaan. “Cingan, mana nu hébat ti antara tokoh nu tilu: naha Ibu Inggit, Bung Karno, atawa Haji Sanusi (Coba, siapa yang paling hebat di antara ketiga tokoh cerita: apakah Ibu Inggit, Bung Karno, ataukah Haji Sanusi)?” tanya beliau.
Saya tidak dapat menjawabnya dan, terus-terang, pertanyaan itu masih terngiang-ngiang sampai sekarang. Ketika belum lama ini saya dikontak oleh Pak Tito Zeni Asmara Hadi, Ketua Yayasan Ibu Inggit Garnasih, sehubungan dengan acara peringatan haul Ibu Inggit yang ke-38, pertanyaan itu pula yang segera terlintas dalam benak saya. Sampai-sampai saya merasa perlu membaca ulang Kuantar ke Gerbang.
Saya tidak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu, jawabannya. Biarlah pertanyaan itu jadi dorongan tersendiri untuk mengingat kembali tokoh-tokoh yang pernah berkiprah dalam sejarah, untuk membaca kembali tulisan-tulisan yang lahir dari ikhtiar untuk memahami sejarah.
Sejauh kesan yang saya dapatkan dari pengalaman singkat mengenal Kang Atun sebagai penulis roman dan biografi, ada terasa oleh saya kecenderungan untuk menghormati figur wanita dalam sejarah, baik sejarah masyarakat maupun sejarah hidup seseorang. Figur Ibu Inggit dalam Kuantar ke Gerbang kiranya memainkan tiga peran sekaligus, yakni sebagai ibu, teman, dan kekasih.
Tanpa figur wanita yang sanggup jadi ibu, teman seperjuangan, dan kekasih, boleh jadi sejarah hanya akan menampilkan sosok-sosok patriot yang mudah patah dan gampang remuk. Figur seperti itulah yang dalam roman karya Kang Atun turut mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Kita tahu, kegiatan mengantar tidaklah sama dengan kegiatan menjemput. Orang yang mengantar biasanya hanya menemani sampai ke gerbang, dan tidak ikut duduk di dalam gerbong. Pada akhirnya ia akan melambaikan tangan, mungkin dengan kesedihan, hingga kereta menghilang sendiri dari cakrawala.
Ingatanlah yang mengabadikan para pendahulu yang telah mengantarkan kita ke dalam hidup bersama dewasa ini. Sejauh mana? Sejauh yang dapat saya lihat, Bandung mengabadikan nama Inggit Garnasih melalui nama jalan, museum, dan yayasan. Saya belum tahu, sejauh mana Bandung telah merealisasikan impian sang ibu bangsa, semisal untuk mendirikan rumah sakit ibu-anak dan sebagainya? Ataukah Bandung, sebagaimana diri saya, hanya mengenal Ibu Inggit serba sedikit?***
Penulis : HAWE SETIAWAN | KOLUMNIS & DOSEN DKV FISS UNPAS