Gaung Media Nasional Jejak Tiga Dekade Oscar Motuloh

Jejak Tiga Dekade Oscar Motuloh

Kampanye Buku


Selama tiga dekade, Oscar Motuloh menekuni semesta rana, lensa, citra, dan cahaya. Dia sudah melakoni bermacam peran, mulai dari pewarta foto, mentor, dosen, hingga kurator.

Kami bersua Oscar Motuloh pada satu siang di bulan Juli 2019. Dia tengah menyeruput kopi dan membaca koran pagi di ruang kerjanya, lantai II Museum Graha Bakti Antara, atau kini beken sebagai Galeri Foto Jurnalistik Antara.

Nyaris tiada tempat tersisa di ruangan itu. Ada meja dan rak-rak yang penuh buku, miniatur pajangan, serta piringan hitam. Benda serupa juga ditumpuk di lantai. Tumpukan meninggi mencapai paha orang dewasa, membentuk semacam labirin dalam kamar kerja itu.

Selama beberapa tahun terakhir, dari ruang kecil itu Oscar larut dalam aktivitasnya. “Rutinitas gua sekarang lebih banyak di sini, ngurusin pameran, seminar, workshop, dan menulis,” kata Kepala Divisi Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara itu.

Segala aktivitas itu berporos pada satu kata kunci: fotografi, terutama fotografi jurnalistik.

Selama tiga dekade, Oscar menekuni semesta rana, lensa, citra, dan cahaya. Selama itu pula, dia sudah melakoni pelbagai peran, mulai dari pewarta foto, mentor, dosen, hingga kurator.

Sebagai fotografer, sejak era 1990-an, Oscar beberapa kali mengadakan pameran tunggal.

Untuk menyebut satu yang menonjol: Soulscape Road atau Lintasan Saujana Jiwa yang pernah melanglang hingga Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda (2011).

Pada pameran itu, Oscar mengajukan metafora dalam sejumlah peristiwa bencana. Dengan visual hitam putih nan muram, Oscar menempatkan subjektivitas dalam menafsir petaka, mulai dari Tsunami Aceh (2004) hingga Tragedi Lumpur Lapindo (2006).

Pada 2011, bersama Liga Merah Putih, Oscar meluncurkan buku dan pameran Indonesia A Surprise di Galeri Salihara, Jakarta. Proyek itu melibatkan para fotografer perbawa, macam Jay Subiakto, Kemal Jufri, dan Julian Sihombing.

Oscar juga ambil peran sebagai editor buku foto, seperti Samudra Air Mata (2005) yang menampilkan karya 17 fotografer tentang Tsunami Aceh. Pun, di Galeri Foto Jurnalistik Antara, dia berposisi sebagai mentor dan kurator bagi para fotografer muda.

Atas kiprahnya di jagat fotografi, Oscar beroleh “Penghargaan Kebudayaan 2015” sebagai Pelopor Fotografi Jurnalistik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Setahun sebelumnya, nama Oscar tercantum dalam lis “30 fotografer paling berpengaruh di Asia” dari Invisible Photographer Asia (IPA).

Pencapaian itu tak bikin dia jemawa. Dia pun bilang tak banyak yang berubah darinya sejak dulu.

Paling tidak, penampilannya tetap awet. Rambutnya masih gondrong dan lebih suka bergaya kasual, dengan celana jin plus aksesori gelang — termasuk spike — di tangan. Tongkrongannya mengingatkan pada gaya bintang rock era 1990-an.

“Semua aktivitas punya kebahagiaan tersendiri. Kalau sekarang, gua menikmati saat diminta nulis pengantar (pameran) buat teman-teman (fotografer) muda,” ujar pria berdarah Manado-Jember itu.

Terpaksa jadi fotografer

Oscar lahir di Surabaya, 17 Agustus 1959. Sedari kecil dia sudah bertualang. Maklum, bapaknya yang berstatus pegawai PN Pos dan Giro (sekarang PT Pos Indonesia) kerap pindah lokasi dinas.

Sebelum berlabuh di Jakarta, Oscar pernah tinggal di Surabaya, Bali, Makassar, hingga Papua. Dia menikmati tiap perjalanan, bertemu orang-orang baru, bersentuhan dengan kultur yang beragam.

“Kalau dinas, bokap bawa pick-up. Gua sering ikut. Pas di pedalaman, bokap suka menampung masyarakat yang mau bepergian. Gua berbaur dengan mereka, mendengar macam-macam cerita dari orang baru,” katanya.

Keluarganya juga punya kesadaran literasi. Bapaknya, yang kata Oscar “seorang kutu buku”, kerap menyuplai bacaan. Komik jadi pilihan bacaan Oscar. Masa kecilnya dihiasi kisah dan visual dari berbagai komik, macam Wiro Si Anak Rimba dan Lucky Luke.

Menjelajah. Mendengar cerita. Membaca. Menikmati tampilan visual. Sadar atau tidak, Oscar tengah memulung modal dasar sebagai pewarta foto. Namun orang tuanya berharap Si Sulung jadi diplomat.

Medio 1980-an, Oscar pun pilih mendalami ilmu Hubungan Internasional, pada satu akademi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Lepas lulus ujian negara, Oscar sempat ikut tes masuk di Kementerian Luar Negeri. Pada tes tahap kedua, seorang pengawas ujian mengomentari gaya Oscar dan jin belelnya.

“Ibu itu bilang, ‘ini kenapa bisa lolos tahap pertama, pakai celana jin kok bolong-bolong’. Sejak itu gua merasa diplomat enggak cocok dengan gaya gua,” kelakarnya.

Pada 1988, setelah melamar sana sini, Oscar bertemu dengan iklan lowongan pekerjaan yang termuat di satu koran pagi. “Lembaga pers nasional membutuhkan tenaga penyuntingan dan pewartaan (reporter),” kira-kira begitu bunyi iklan tersebut.

Pemasang iklan adalah Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Oscar melamar dan lulus sebagai reporter. Dia jadi salah satu alumni Kursus Dasar pewarta (Susdape) angkatan kelima di Antara.

Lebih kurang dua tahun, Oscar menjalani rutinitas sebagai reporter, hilir mudik mengumpul kabar di pasar, pengadilan, hingga kantor pemerintah.

Pada 1990, Oscar tiba-tiba diplot sebagai jurnalis foto. Waktu itu, sejumlah pewarta foto Antara menyongsong masa pensiun. Kaderisasi butuh dipercepat.

“Gua juga enggak tahu kenapa dipilih. Mungkin karena dilihat gondrong dan kumal,” ujar Oscar bersusul tawa.

Dia sempat marah ketika pertama kali dimutasi. Perasaan terbuang membayanginya. Maklum, pada masa itu, fotografer masih dianggap “pekerjaan kelas dua” dalam mata rantai pemberitaan.

“Gua sempat agak keras ke Parni Hadi — pemimpin redaksi Antara kala itu. Syukurnya iklim ruang redaksi Antara egaliter jadi enggak masalah,” kenangnya. “Para pimpinan bilang, mereka enggak punya pilihan lain dan berjanji kasih support serta keleluasaan buat gua.”

Belakangan, janji para pimpinan mulai dipenuhi. Oscar pun leluasa membenahi sistem kerja, infrastruktur, dan merancang kursus dasar fotografi (Susdafo) demi regenerasi. Kelak, Susdafo jadi basis bagi pewarta Antara yang ingin mendalami fotografi.

Sambil bekerja, Oscar mulai menelusuri rimba fotografi. Gajinya, yang waktu itu berkisar Rp450 ribu, mulai dialokasikan untuk membeli buku-buku fotografi. Dari kitab-kitab foto itu, dia melihat sudut pandang para fotografer dan memperkaya wawasan visual.

Dua senior Oscar di tempat kerja, Hardjono dan Oei Seng Lie, juga banyak kasih wejangan.

Dia pun bergiat menambah ilmu foto jurnalistik lewat beberapa kursus singkat. Misal, di Hanoi, Vietnam, dia sempat berguru dengan fotografer veteran Perang Vietnam, macam Chu Chi Thanh.

Sebagai jurnalis foto, Oscar jadi saksi sekaligus pelaku yang mendorong fotografi naik level dari sekadar “pekerjaan kelas dua”.

Di Antara, dari berstatus pelengkap, foto naik setaraf biro daerah. Pelan-pelan, statusnya menanjak jadi Divisi Fotografi Antara atau lebih populer sebagai Antara Foto — berperan sebagai kantor berita foto.

Pada entitas terakhir, Oscar sempat menjabat sebagai direktur (2004-2009).

Sang Mentor

Baru dua tahun mengurusi bidang fotografi di Antara, pada 1992, para pembesar kantor berita itu meminta Oscar “menghidupkan” gedung lama Antara di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Gedung tersebut lama terbengkalai. Pasalnya, sejak 1980-an, Antara sudah berpindah kantor di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Tersisa segelintir orang yang masih berkantor di Pasar Baru.

Padahal, gedung itu jadi saksi aktivitas jurnalisme Antara. Dari sana pula, proklamasi kemerdekaan Indonesia bisa disiarkan ke sejumlah negara dunia.

“Gua ditunjuk mengepalai tim kecil untuk menghidupkan kembali gedung ini. Gua mulai mengundang para sejarawan berdiskusi. Serangkaian diskusi akhirnya menelurkan gagasan untuk membuat museum dan galeri foto jurnalistik,” kata Oscar.

Mimpi Oscar waktu itu sederhana. Dia Ingin memperkenalkan fotografi ke generasi muda.

Mula-mula, posisi kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara dipegang Yudhi Soerjoatmodjo, mantan fotografer Tempo.

“Waktu itu gua masih ngurusin Divisi Foto Antara. Jadi gua lebih berperan ngurusin hal-hal teknis sekaligus penghubung dengan manajemen (Antara). Yudhi ngurusin program,” ucap Oscar.

Di gedung itu pula Oscar membidani lahirnya lokakarya Galeri Foto Jurnalistik Antara. Lokakarya foto jurnalistik itu sudah menelurkan 23 angkatan selama 26 tahun. Alumninya telah malang melintang dan mewarnai fotografi jurnalistik Indonesia.

Tak heran bila Oscar kerap disebut sebagai mentor bagi banyak pewarta foto. Ihwal label itu, Oscar punya pandangan menarik.

“Mentor atau guru itu sebuah konsep yang terikat ruang dan waktu. Pada satu masa gua bisa jadi mentor mereka, tapi pada masa lain kami bisa jadi teman,” kata pria yang karib disapa “BO” (Bang Oscar) itu.

Hari-hari belakangan, Oscar menyongsong masa pensiun dari Antara. Baginya, usia sekadar deret angka. Selagi mampu, dia berkeinginan kasih ide, tenaga, dan waktu untuk fotografi.

“Tahun ini, usia gua 60 tahun. Umur fotografi juga sudah 180 tahun. Apalagi yang mau diklaim? Kita hanya bisa mengisi (fotografi) setiap hari, barangkali ada setitik pasir yang bisa disumbangin,” katanya.

dikutip dari: lokadata